Titip Rindu Buat Mas Bro : untuk Orang-Orang Militan Penakluk Madura (Bagian I)
Pabrik gula di Indonesia khususnya di Jawa, sebagian besar adalah pabrik peninggalan penjajah Belanda. Seabad lebih sudah pabrik-pabrik gula ini berkiprah dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia bahkan dunia. Semakin berkembangnya zaman, pabrik-pabrik gula ini juga harus bisa menyesuaikan. Semakin tua umur pabrik gula ternyata tidak membuatnya menjadi matang dan dewasa, hanya mesin-mesinnya yang semakin tua dan efisiensi kebunnya yang terus menurun. Ada empat alternatif yang bisa diambil oleh pabrik gula untuk tetap bisa survive di dunia bisnis yang makin ‘kejam’ dan kompetitif ini. Empat alternatif itu adalah peningkatan efisiensi pabrik, intensifikasi lahan, diversifikasi produk, dan ekstensifikasi lahan serta pabrik (mendirikan pabrik gula baru). Efisiensi pabrik yang terus menurun bisa diatasi dengan penggantian peralatan-peralatan tua melalui investasi baru dan automatisasi. Intensifikasi lahan juga akan melewati jalan terjal meskipun beragam upaya terus dilakukan untuk meningkatkan produksi per hektar dan rendemen.
Diversifikasi produk menjadi pilihan lebih baik karena produk turunan tebu belum banyak yang dimanfaatkan. Teringat apa yang dikatakan oleh Dahlan Iskan di PG Gempolkrep tahun 2013, bahwa ke depan PG harus diversifikasi agar daya saingnya meningkat. Nah, untuk itu Kalau PG-PG kecil harus bersama-sama, tetes tebunya tidak cukup untuk produksi bioetanol. Karena tidak setiap PG membangun pabrik bioetanol. Beliau menjelaskan, PG-PG kecil harus dipetakan perannya. Artinya ada job tersendiri siapa yang memasok tetes tebu dan siapa yang mengolah menjadi bioetanol. Lanjut Pak Dahlan, diversifikasi produk tersebut bisa menopang ketahanan energi nasional. Bahan bakar nabati seperti bioetanol diperlukan karena mahal dan langkanya bahan bakar berbasis fosil seperti minyak bumi. Banyak sekali produk turunan dari tebu maupun bisnis lain yang bisa dikembangkan oleh pabrik gula. Bioetanol, listrik, biokompos, dan pariwisata sejarah. Ampasnya bisa dimanfaatkan sebagai briket, partikel board, bahan baku pulp dan bahan kimia seperti furfural, xylitol, methanol, serta metana.
Alternatif keempat adalah melakukan ekstensifikasi. Laba dicapai jika gula milik PG terpenuhi. Untuk pemenuhan tersebut maka dibutuhkan tebu dalam jumlah banyak dan kapasitas giling yang ikut menyesuaikan. Ekstensifikasi bisa dalam bentuk perluasan lahan atau pembangunan pabrik gula baru yang lebih efisien. Seperti yang dilakukan oleh PTPN X yang tengah menggalakkan perluasan lahan di Madura dan merencanakan pembangunan pabrik gula baru di sana. Mengapa di Madura? Seperti yang disampaikan Direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) Aris Toharisman bahwa selama ini Madura memang dikenal sebagai penghasil garam. Pulau ini seringkali diasosiasikan sebagai wilayah panas dan terik, dan hanya cocok untuk membuat garam dari air laut yang dikeringkan. Pandangan seperti itu tidak sepenuhnya benar, karena kenyataannya Madura menyimpan potensi besar sebagai penghasil gula. Kajian yang dilakukan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) memberikan fakta menarik. Sekitar 250.000 hektar lahan di Madura relatif sesuai untuk perkebunan tebu, dan bisa menghasilkan tebu antara 60-90 ton per hektar. Potensi area seluas 250.000 hektar itu bisa mendukung pasokan tebu untuk pembangunan 10 pabrik gula (PG) baru masing-masing dengan kapasitas giling 10.000 ton tebu per hari. Sebagai pembanding, area tebu di Jawa Timur saat ini sekitar 200.000 hektar dengan 31 PG yang menghasilkan gula sekitar 1,2 juta ton per tahun.
Aris menambahkan, potensi area tebu yang sangat masif di Madura, selain bisa menjadi tumpuan produksi gula, juga sangat prospektif dikelola sebagai industri gula terpadu. Pabrik gula dapat diintegrasikan dalam sebuah kompleks industri berbasis tebu seperti bioetanol, listrik, kertas, pakan ternak, pupuk organik, dan produk-produk komersial lainnya. "Integrasi semacam itu sulit dilakukan di Jawa mengingat rata-rata kapasitas giling PG di Jawa hanya 3.500 TCD, sehingga hilirisasi produk turunan tebu sulit memenuhi skala keekonomian," jelas Aris. Saat ini, area tebu di Madura baru mencapai sekitar 1.500 hektar yang terkonsentrasi sebagian besar di Sampang dan Bangkalan. Tahun 2014 area tebu kemungkinan meningkat menjadi 4.000 hektar, seiring dengan program pengembangan area yang didanai APBN. Dua tahun berikutnya ketika sebuah PG baru mulai dibangun di Madura, area tebu diperkirakan mencapai 10.000 hektar. Bila dibanding dengan potensi area tebu lainnya di luar Jawa, Madura jauh lebih menjanjikan. Infrastruktur tersedia sangat memadai. Jalan, jembatan, pelabuhan, jaringan listrik dan komunikasi tinggal pakai. Tenaga kerja juga cukup tersedia. (http://www.beritasatu.com/industri-perdagangan/163212-cerah-prospek-industrialisasi-gula-di-Madura.html). (Ady Susanto_PG Watoetoelis, OPI_Sekper)
Rank 18 of The Best Twenty Five LKTI 2014
Terdapat 0 komentar
Silahkan tambahkan komentar