Menjegal Impor Melalui SNI Gula (Bagian II)
Disisi lain, Gardjita membenarkan, bahwa SNI gula ini tidak sekedar untuk melakukan perubahan di tingkat PG. Tapi juga mengubah pola pikir masyarakat yang terbiasa mengonsumsi gula berwarna kuning ke arah gula putih.
Sehingga selagi warna kuning tidak membahayakan tidak apa-apa digunakan, tapi jika membahayakan maka dipastikan ada larangannya karena bisa mengganggu kesehatan. Sebab pada dasarnya gula yang berlogo SNI ini dipastikan sesuai keinginan konsumen sebab didalam penyusunan SNI, konsumen dilibatkan.
“Maka dalam hal ini bukan berarti gula bersih tidak manis dan tidak beraroma sebab semuanya sudah disesuaikan sesuai keinginan konsumen,” janji Gardjita.
Artinya, Gardjita menegaskan, jika gula kurang baik bisa beredar di dalam negeri seperti gula bewarna kuning, bukan tidak mungkin gula yang tidak baik juga berasal dari luar negeri yang harganya lebih murah akan menyerang pasar dalam negeri. Atas dasar itu maka dibuatlah SNI atau gula yang kualitas baik sehingga jika ada gula impor harus memenuhi sesuai standar SNI Indonesia.
“Sehingga dalam gula ber-SNI ini tidak hanya memaksa untuk membenahi PG tapi juga mengubah kebiasaan masyarakat dari yang terbiasa mengonsumsi gula kurang baik menjadi mengonsumsi gula yang baik. Dan dengan cara ini akan ada kompetisi sehat,” ucap Gardjita.
Tidak hanya itu, Gardjita menerangkan, yang akan diawasi tidak hanya PG tapi juga distributor yang menjual gula. Sehingga dalam hal ini distributor juga akan diawasi dalam menyalurkan atau menjual gula dalam bentuk gula curah (kiloan non merk).
“Jadi prosesnya, gula yang sudah bersertifikat SNI yang dikeluarkan dari PG jika disalurkan melalui distributor, maka distributor tersebut juga harus disertifkasi dan diaudit. Hal ini dilakukan agar tidak ada rembesan gula yang tidak bersertifikat SNI ikut masuk ke pasar tradisional. Karena jika gula tidak bersertifikat tersebut ikut masuk akan menurunkan kualitas gula yang sudah ber-SNI tersebut,” urai Gardjita.
Tapi Gardjita mengingatkan,” Jika dalam hal ini terjadi kesalahan pada distributor-distributor nakal dengan mencampur gula ber-SNI dengan gula yang tidak ber-SNI, maka yang akan dikenakan hukuman adalah distributornya bukan PG.”
Sementara itu, Adig Suwandi, Senior Advisor Asosiasi Gula Indonesia (AGI) berpendapat bahwa dengan adanya SNI gula ini tidak mempengaruhi harga GKP ditingkat pasar tradisional. Sebab tinggi rendahnya SNI tergantung pada suplai dan demand. Artinya jika produktivitas tebu tinggi diiringi dengan rendemen yang juga tinggi, maka meski permintaan tinggi tidak akan berpengaruh terhadap harga.
“Tapi jika produktivitas rendah sementara permintaan tinggi, maka bukan tidak mungkin harga gula akan ikut naik,” imbau Adig.
Kemudian, Adig menyarankan, adapun untuk konsumen masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah yang telah terbiasa mengonsumsi GKP berwarna kuning bisa beralih ke brown sugar yang juga ber-SNI. Namun, memang harus diakui untuk membuat brown sugar membutuhkan waktu dan tambahan biaya lagi. Sebab untuk membuat brown sugar dengan berbasis tebu rakyat membutuhkan proses tambahan.
“Jadi jika masyarakat tetap ingin mengonsumsi gula berwarna kuning bisa menggunakan brown sugar. Tapi memang untuk membuat brown sugar terpaksa PG harus mengeluarkan tambahan biaya untuk membuatnya,” pungkas Adig.
Sumber: Media Perkebunan, Edisi 139, Juni 2015, Hal 41
Terdapat 0 komentar
Silahkan tambahkan komentar